Rabu, 20 Januari 2010

Devinisi Teknologi

- Devinisi Teknologi

Memasuki Milenium III ini tak dapat disangkal lagi bahwa teknologi telah merupakan instrumen utama dari masyarakat dalam mencapai kesejahteraan melalui penciptaan nilai tambah. Kajian mendalam telah menemukan (discover) bahwa teknologi sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu proses yang terdiri dari rangkaian subproses penelitian dan pengembangan, invensi, rekayasa dan disain, manufaktur dan pemasaran. Disini teknologi modern didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang ditransformasikan kedalam produk, proses, jasa dan struktur organisasi. Setiap subproses dalam rangkaian tersebut merupakan unsur krusial yang tidak dapat ditiadakan. Sebenarnya adalah menarik untuk membahas secara menditail masing-masing subproses tersebut, namun waktu maupun tempat tidak membenarkan dilaksanakannya hal tersebut. Tetapi sebagai rekayasawan (engineer) saya tertarik pada kata “rekayasa” dalam proses diatas dan nanti saya akan kembali kepadanya.

Pengembangan teknologi yang terdiri dari berbagai subproses diatas, secara singkat juga disebut komersialisasi dari ilmu pengetahuan. Hal ini bernada sangat sumbang ditelinga malah sangat menyakitkan. Ilmu Pengetahuan yang bermartabat begitu tinggi dikomersialkan ! Hal ini tidak dapat diterima karena budaya luhur timur mengajarkan bahwa komersialisasi adalah sangat merendahkan (degrading). Namun ditinjau dari aspek pembentukan nilai tambah, komersialisasi ilmu pengetahuan memang merupakan suatu kebenaran (truth) yang harus diterima. Kita masih harus belajar menerimanya.

Komersialisasi merupakan proses transformasi dari sesuatu yang tidak atau kurang memiliki nilai ekonomi-langsung, menjadi suatu produk atau komoditi bernilai pasar yang kompetitif. Agar transformasi tersebut bermakna, maka tidak bisa tidak hal tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme.

Memasuki Milenium III ini sebagian besar dari niaga dunia terdiri dari komoditi teknologi dan biasanya dalam bentuk kumpulan teknologi (technology cluster). Dalam pembentukan komoditi teknologi ilmuwan (scientist) dan rekayasawan (engineer) meninjau rangkaian berbagai subproses pengembangan teknologi sedangkan pakar ekonomi meninjau proses komersialisasi.

Bila ditinjau rangkaian subproses yang pertama, sebenarnya rekayasalah yang melaksanakan transformasi dari ilmu pengetahuan yang tidak memiliki nilai ekonomi langsung menjadi teknologi atau produk komoditi bernilai pasar, tentunya berdasarkan kaidah-kaidah rekayasa. Maka uraian ini menyarankan (suggest) seakan kaidah rekayasa identik dengan kapitalisme.

- Sains, Rekayasa dan Teknologi

Sains dan Teknologi adalah institusi manusiawi; artinya Sains dan Teknologi adalah karya yang dilahirkan manusia. Maka tanpa adanya manusia kedua karya tersebut juga tidak akan ada. Namun ada beda fundamental antara kedua institusi tersebut. Perbedaannya terletak pada sumbernya.

Sains sebagai “body of knowledge” yang kita ketahui saat ini adalah hasil abstraksi manusia dari sumber alami melalui berbagai fenomena yang diamatinya. Kemudian fenomena tersebut direpresentasikan kedalam berbagai model yang membentuk suatu paradigma. Maka kebenaran sains adalah bila dan hanya bila suatu fenomena alami dapat cocok (fit) pada model-model dari suatu paradigma yang berlaku. Bila model dalam suatu paradigma yang dianut tidak lagi dapat merepresentasikan suatu fenomena alami tertentu, maka fenomena tersebut merupakan suatu anomali. Namun anomali tidak dapat terjadi berulang kali. Bila hal demikian ditemui maka paradigma tersebutpun mengalami krisis dan gugur sebagai paradigma yang absah untuk kemudian digantikan oleh model baru yang membentuk paradigma baru pula (Kuhn, 1996). Fenomena alami dan kebenaran yang ada dibaliknya sebenarnya telah beroperasi sejak jauh sebelum manusia ada, misalnya gaya gravitasi dan elektromagnetik, adanya elektron dan neutron didalam atom, proses radioactive decay dan lain sebagainya merupakan kebenaran alami yang telah beroperasi sejak awal sejarah jagad raya ini, jauh sebelum manusia menghuni planet Bumi. Oleh karena itu berbagai kebenaran alami yang terhimpun dalam sains merupakan temuan (discovery) manusia. Namun tanpa manusiapun kebenaran alami tetap beroperasi sebagai sumber dari sains.

Berbeda dari sains, teknologi sepenuhnya bersumber pada manusia itu sendiri. Teknologi diciptakan manusia sebagai instrumen dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Teknologi merupakan suatu fenomena sosial. Oleh karena itu tanpa manusia, tanpa masyarakat, teknologipun tiada.

Teknologi diciptakan manusia melalui penerapan (exercise) budidaya akalnya. Manusia harus mendayakan akal pikirannya dalam me-reka teknologi berdasarkan ratio (nalar) dan kemudian membuatnya, me-yasanya, menjadi suatu produk yang kongkrit. Jadi perlu penerapan rekayasa dalam menciptakan teknologi, dan sebaliknya teknologi kemudian akan membantu manusia dalam merekayasa. Inter-relasi dan interaksi antara rekayasa dan teknologi sering sulit dipahami karena seakan terjadi secara obvious atau terjadi sepenuhnya dilatar belakang sehingga luput dari pengamatan. Maka untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari peran rekayasa dalam penciptaan teknologi dan sebaliknya, perlu digresi sebentar sampai pada saat asal mula terbentuknya masyarakat manusia.

Bumi diperkirakan berumur 4.5 milyar tahun. Kehidupan di Bumi diperkirakan muncul pada 3.5 milyar tahun yang lalu. Kemudian kira-kira 500 juta tahun yang lalu timbul binatang darat melalui suatu proses evolusi dari ikan berkulit keras. Pada 40 juta tahun yang lalu diperkirakan monyet dan kera (apes) tampil di Bumi setelah melalui proses evolusi pula. Kira-kira 10 juta tahun yang lalu, Ramapithecus, sebangsa kera yang memiliki ciri-ciri seperti manusia tampil di India. Kemudian kira-kira 1.5 juta tahun yang lalu, Homo Erectus, makhluk manusia sejati diperkirakan telah muncul di Nusantara dan Afrika (Leonard, 1973). Maka setua itu pulalah umur rekayasa manusia, yaitu dalam membudidayakan akalnya dalam menyelesaikan masalahnya. Rekayasa yang dilaksanakan manusia tentunya diawali dengan sesuatu yang sederhana dan makin canggih seiring dengan evolusi besar otaknya.

Sulit dipastikan, namun tentunya batu ditemukan (discover) manusia prasejarah ketika ia melihatnya untuk pertama kalinya. Ketika ia menggenggam batu tersebut dan mempergunakannya sebagai alat pemukul, maka ia telah melakukan invensi (invention) dari suatu alat pemukul dari batu. Hal ini dapat dilakukannya berkat kemampuan merekayasa, kendati bentuk rekayasa yang dilakukannya masih sangat sederhana. Belum jelas apakah naluri (instinct) atau intelegensia yang mendorongnya melakukan rekayasa tersebut.

Kemudian untuk meningkatkan utilitasnya, manusia purbapun melakukan inovasi dengan memberikan sisi tajam pada batu tersebut dengan cara membelahnya. Untuk itu ia menerapkan pula sedikit rekayasa. Sisi tajam tersebut dapat berfungsi lebih efektif sebagai alat pemotong. Berbagai inovasi berikutnya juga memerlukan penerapan rekayasa yang makin sulit, misalnya ketika manusia prasejarah memberikan tangkai atau tali pada batu tajam tersebut sehingga dapat berfungsi lebih efektif sebagai palu atau kapak, ataupun sebagai batu bandul.

Perkakas purba kemudian berkembang dalam macam dan efisiensinya seiring dengan pertumbuhan kebutuhan manusia dan intensitas penerapan rekayasa pada proses inovasi yang dilaksanakannya. Dalam perjalanan sejarah, perkembangan tersebut kemudian melahirkan teknologi jaman purba yang telah berhasil menjadi alat pemenuhan kebutuhan masyarakat prasejarah yang efektif dan cukup efisien serta dapat menjamin existensinya selama ratusan milenia, jauh sebelum lahirnya sains. Oleh karena itu rekayasa teknologi purba menampilkan karakteristika seni dan masih bebas dari intrinsika sains.

Sebaliknya, Teknologi Batu telah meningkatkan efisiensi masyarakat purba dalam mencukupi kebutuhannya, malah dapat menghasilkan melebihi dari yang dibutuhkannya sehingga menciptakan kemampuan untuk mendukung pertumbuhan populasi maupun budaya masyarakatnya. Maka dengan demikian terjadilah hubungan timbal balik yang konstruktif antara kebutuhan masyarakat yang memicu lahirnya teknologi dan pada gilirannya teknologi yang timbul dapat mendukung expansi masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup anggotanya.

Kemudian peradaban manusiapun tumbuh bersama perkembangan masyarakat, diiringi teknologi baru yang lahir dan rekayasa maju yang mendukungnya. Sejarah telah membawa manusia melewati era berburu dan pengumpulan hasil hutan, yang diikuti domestikasi binatang piaraan dan kemudian disusul oleh revolusi agrikultur pada kira-kira 10.000 sampai 15.000 tahun yang lalu dan sampai pada jaman Yunani Klasik yang menjadi tempat lahirnya sains modern.

Menjelang era Yunani Klasik, sains masih bersifat kualitatif, irasional, kontinu, hingga (finite) dan mitologis. Falsafah pemikiran Yunani telah mengajarkan metodologi penggunaan penalaran sepenuhnya yang berdasar pada berbagai axioma dan premis sehingga orang dapat sampai pada temuan intelektual (intelectual discovery). Yunani Klasik telah pula memperkenalkan penerapan prinsip sains kedalam karya rekayasa. Hal tersebut tampil antara lain pada compounded pulleys, pompa Archimedes, hidrostatika pada benda-benda mengambang (floating bodies) dan lain sebagainya. Dalam bidang falsafat sosial Yunani telah pula memperkenalkan dasar-dasar demokrasi (Bernal, 1971).

Pengaruh sains pada teknologi atau sebaliknya terjadi kira-kira 1000 tahun kemudian ketika sains berubah menjadi formal dan bersifat kuantitatif, rasional, discrete (atomis), tak hingga (infinite) dan sekular (non religious) Transformasi sains dari flexible artistry menjadi rigorous discipline memungkinkan diadopsinya sains untuk menjadi dasar pengembangan rekayasa modern dikemudian hari.

Hubungan timbal balik antara sains dan teknologi makin tampil kukuh di Jaman Renaissance ketika ilmuwan era tersebut, seperti Galileo, Leeuwenhoek, Newton dan lain-lainnya, melaksanakan penelitian dengan menggunakan instrumen ilmiah seperti teleskop, mikroskop, prisma dan lainya. Sebaliknya hasil penelitian tersebut dipergunakan sebagai dasar merekayasa instrumen baru maupun peningkatan kinerja instrumen yang sudah ada. Maka dengan demikian sempurnalah hubungan pengaruh timbal balik antara sains dan teknologi.

- Prinsip Rekayasa

Pertumbuhan teknologi pada umumnya selalu bermuara pada kemakmuran masyarakat serta pertumbuhan jumlah penduduk yang dibarengi dengan perkembangan sosial masyarakat ketaraf yang lebih tinggi (Braudel, 1993). Kemakmuran dicapai karena teknologi yang diterapkan tidak hanya mencukupi kebutuhan masyarakat tetapi malah melebihi dari kebutuhan yang sebenarnya. Produktivitas yang lebih tinggi dengan cara yang lebih mudah dan lebih murah pada umumnya dipersepsikan sebagai identik dengan efisiensi. Dalam skala besar, prinsip efisiensi ini diterapkan orang dalam sistem produksi industri. Hal ini tampil mencolok pada era Revolusi Industri.

Dengan mapannya relasi resiprokal antara sains dan teknologi di Abad XVI maka teknologi yang tercipta dalam dua abad berikutnya telah benar-benar mencapai taraf yang matang untuk diterapkan dalam kegiatan industri. Pada saat Revolusi Industri, batu bara dan mesin (machine) telah menggantikan energi dan tenaga manusia serta hewan, sedangkan peralatan (equipment) dan perkakas (tools) telah menggantikan tangan dan jari manusia. Mesin dan perkakas dapat bekerja jauh lebih cepat dari pada manusia, tidak terpengaruh waktu dan jam kerja yang panjang serta kondisi lingkungan yang tidak nyaman. Akibatnya adalah hasil produksi yang lebih tinggi dan dengan cara yang lebih mudah sehingga menghasilkan produk yang rata-rata lebih murah. Terlepas dari perlakuan yang kurang manusiawi dari kaum industrialis terhadap buruhnya, aplikasi teknologi dalam proses produksi disaat itu telah meningkatkan produktivitas masyarakat industri berlipat ganda luar biasa. Dengan kata lain, teknologi telah meningkatkan efisiensi kerja masyarakat yang pada gilirannya kemudian meningkatkan pula kemakmurannya.

Pada jaman modern ini, prinsip efisiensi juga berlaku dalam ilmu ekonomi yang pada dasarnya berarti minimasi alokasi sumber daya yang langka dan maximasi hasilnya (minimization in allocating scarce resources and maximization of return). Dalam bentuk abstrak prinsip tersebut diterjemahkan sebagai optimasi (optimization).

Dalam kehidupan sehari-hari awam tanpa sadar telah banyak melaksanakan prinsip optimasi dalam menyelesaikan masalahnya, misalnya mencari jalan pintas yang terpendek, membeli yang termurah, bekerja yang termudah dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan profesionalnya, Rekayasawan secara sadar selalu melaksanakan optimasi dalam mencari jawaban atau penyelesaian masalahnya, yaitu memberikan solusi yang termurah dalam harga materialnya, mudah, cepat dan murah dalam produksinya, serta berfungsi maximal sesuai spesifikasinya. Oleh karena itu semua solusi rekayasa (engineering solution) adalah solusi optimum.

Pada taraf individu apakah sebenarnya yang mendorong manusia menghendaki (desire) efisiensi ? Pertanyaan tersebut merupakan masalah yang sulit dijawab. Masalah tersebut mungkin memiliki latar belakang filsafat atau psikologi. Namun pada umumnya awam berpendapat bahwa optimasi adalah manusiawi. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah optimasi merupakan sifat intrinsic manusiawi dalam bentuk naluri (instinct) yang didapat manusia bersama kelahirannya sesuai kode genetika dalam kromosomnya ataukah bersifat karakteristik yang dibentuk oleh lingkungannya (aquired skill).

Matt Ridley (2000) berpendapat bahwa naluri adalah sifat instrinsik manusia yang ditimbulkan oleh suatu kode genetika yang terdapat dalam kromosom nomor 7, sedang Robert Plomin menyatakan bahwa intelegensia timbul dari suatu deret genetika yang terdapat ditengah-tengah gen IGF2R (Ridley, 2000). Michio Kaku (1997) berpendapat bahwa berdasarkan hasil pengkajian terhadap lalat buah, para pakar genome pada sekitar tahun 2010 nanti akan dapat memastikan gen mana yang menentukan perilaku (behavior) atau sifat seseorang. Diantara perilaku tersebut adalah sifat keserakahan manusia.


Apabila sifat optimasi tersebut adalah genetika, maka sumber keinginan (desire) untuk efisiensi bersemayam dalam jiwa manusia yang sulit dipisahkan, sedangkan teknologi adalah sekedar wahana untuk mewujudkan efisiensi tersebut. Maka manusiapun secara alami akan tiada henti-hentinya merekayasa dan merekayasa kembali teknologi yang kian maju dan kian efektif demi mencapai efisiensi yang terbaik sehingga dapat memberikan untung (gain) yang terbesar. Jadi keinginan (desire) untuk mendapat untung yang terbesar merupakan kekuatan penggerak (motive force) manusiawi yang mendorong terjadinya rentetan rekayasa yang menghasilkan teknologi baru yang makin canggih dan kian efisien.

Penerapan rekayasa yang berprinsip efisiensi secara excessive dapat membawa orang pada keserakahan yang tidak adil dan tidak beradab pula. Keserakahan yang demikian, yang timbul dari desire yang bersemayam dalam jiwa orang secara intrinsic atau secara naluri, sulit diberantasnya. Satu-satunya jalan yang diketahui orang saat ini, dan memang ini yang sebenarnya dilaksanakan orang, untuk mencegah keserakahan adalah melalui peraturan perundang-undangan dengan ancaman hukuman bila dilanggar. Pada kasus kedua, dimana desire untuk optimasi yang berlebihan didapatkan dari informasi, atau acquired dari practice, maka pendidikan diperkirakan masih dapat mencegah terjadinya keserakahan yang berlebihan tersebut.

Penerapan prinsip optimasi secara intensif berlaku pula dalam bidang ekonomi. Dalam faham kapitalisme, prinsip optimasi malah menjadi postulat. Karena optimasi, jadi juga kapitalisme, merupakan sifat intrinsik manusia, maka faham kapitalisme pasti akan beroperasi dimasyarakat. Oleh karena itu apabila beroperasinya faham kapitalisme dimasyarakat tanpa kendala (constraints) tidak pelak lagi pasti akan menimbulkan jurang kesenjangan sosio-ekonomi yang kian melebar tanpa batas. Postulat optimasi dalam kapitalisme sebenarnya merupakan jiwa dari paham tersebut, tiada bedanya dengan jiwa serakah manusia. Maka analog dengan yang terdahulu, pencegahan terjadinya disparitas sosio-ekonomi tersebut hanya dapat dicapai dengan tegaknya peraturan perundang-undangan yang menghukum penerapan kapitalisme secara berlebihan serta mengatasi timbulnya excess yang negatif.

Faham mendapatkan untung (gain) yang terbesar adalah faham kapitalisme dan sebagaimana halnya dengan rekayasa, efisiensi merupakan dasar yang paling fundamental dari faham tersebut.

- Penutup

Uraian diatas menunjukkan bahwa rekayasa dan kapitalisme adalah dua bentuk yang berbeda dari satu kaidah yang sama, yaitu optimasi. Kedua-duanya merupakan atribut manusia yang telah dimilikinya melalui gen sejak keberadaannya dibumi ini. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kemampuan merekayasa telah berkembang mengikuti evolusi gen manusia selama jutaan tahun yang lalu, Rekayasa telah dilakukan manusia dalam mencari solusi bagi masalahnya, termasuk dalam menciptakan teknologi, dan dengan secara sadar atau tidak menerapkan prinsip efisiensi atau optimasi. Jadi rekayasa bukanlah monopoli rekayasawan, tetapi juga dioperasikan oleh chalayak awam dalam menyelesaikan masalahnya.

Penerapan prinsip-prinsip rekayasa (baca : kapitalisme) pada masalah-masalah sosial secara excessive tanpa kendala akan berakibat timbulnya jurang sosio-ekonomi yang dengan waktu kian memburuk. Maka untuk menghindarkan terjadinya kesenjangan sosial tersebut perlu diciptakan serta ditegakkannya sistem peraturan perundang-undangan yang mencegah terjadinya disparitas sosio-ekonomi dimasyarakat.

Memasuki millenium ke 3 ini, inter-relasi sirkular antara masyarakat, teknologi dan sains menjadi makin kuat dengan waktu, namun rekayasa hanya dapat diterapkan pada komponen masyarakat dan teknologi saja. Rekayasa tidak dapat diterapkan pada sains. Dengan demikian mantapnya paradigma globalisme akhir-akhir ini serta memenuhi definisi teknologi diatas maka sebagai corollary : rekayasa adalah mengorganisasi fundamental nalar melalui lojik kedalam solusi terbatas yang terbaik.

- Rujukan

Bernal, J.D. (1971), The Emergence of Science, MIT Press, Cambridge.

Braudel, F. (1993), A History of Civilizations, Penguin Books, New York.

Kaku, M. (1997), Visions, Anchor Books, New York.

Kuhn, T.S. (1996), The Structure of Scientific Revolutions, 3rd Ed. The University of Chicago Press, Chicago.

Leonard, J.N. (1973), The First Farmers, Time-Life Books, New York.

Martin, M.W., R. Schinzinger, (1989), Ethics in Engineering, Indon.Ed. McGraw-Hill.

Petroski. H. (1985), To Engineer is Human, Vintage Books, New York.

Ridley, M. (2000), Genome, The Autobiography of a Species in 23 Chapters, Perennial, New York.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar